Minggu, 26 Maret 2017

Zakat Maal: Ice-Breaker

Zakat Maal ada yang menyebut sebagai 'penalti', bisa juga disebut ice-breaker. Penalti dipakai karena harta yang likuid mengumpul di suatu tempat dan tidak mengalir. Zakat inilah yang mengambil 1/40 dari harta yang membeku untuk dikucurkan ke masyarakat yang berhak. Secara umum para penerima zakat akan menbeli barang kebutuhan sehari-hari dan mengalirkan uang ke pasar. Pasar akan bergerak dan aliran tunai berjalan.

Secara hakikat pasar menjadi sentra penting pertukaran barang, jasa, dan aliran kesejahteraan.

Karena itulah zakat maal ini diberlakukan terhadap harta likuid yang membeku. Membeku dan mengendap selama satu tahun. Bukan fixed asset seperti rumah atau tanah tetapi harta yang likuid seperti uang tunai, emas, tabungan, deposito, saham, valas. Anggaplah suatu saat ada jenis benda baru menjadi alat pertukaran likuid seperti pulsa, maka pulsa ini bisa menjadi harta yang diperhitungkan.

Orang bisa termotivasi untuk mengalirkan hartanya karena jika mengendap selama setahun maka terkena 'penalti'. Dengan mengalirkan ke pasar, perputaran transaksi akan banyak sehingga perputaran modal bisa cepat dalam jumlah yang besar.

Problem yang menghadang adalah produksi. Jika produksi tidak mampu mengikuti aliran modal, bisa terjadi inflasi, dan itu bahan untuk next topic.

Kamis, 08 Desember 2016

Commodity-based Currency

Commodity-based Currency adalah mata uang yang berdasarkan komoditas. Komoditas itu bisa berupa emas, perak, logam, mineral lainnya. Mata uang yang berdasarkan komoditas jika dirunut sudah ada sejak jaman Romawi dan Persia, bahkan mungkin lebih awal lagi. Kemudian berlanjut sampai kekhalifahan muslim. Pada waktu itu yang dipakai adalah emas dan perak. Berbagai alasan penggunaan emas di antaranya adalah sifatnya yang terbatas dan bisa diterima semua pihak.

Sekitar akhir 90 mencuat ide penggunaan emas oleh Mahathir sebagai mata uang kaum muslim untuk perdagangan dengan negara-negara Timur Tengah, tetapi ide ini berhenti di tengah jalan. Walaupun demikian embrionya tetap ada dengan munculnya penerbit dinar emas di Malaysia dan Indonesia.

Salah satu terobosan dalam commodity-based currency adalah penjangkaran mata uang Kanada (CAD) dan Australia (AUD) ke komoditas mineral alam. Ini dimungkinkna karena negara-negara tersebut mempunyai sumber daya alam yang dijadikan asas penilaian mata uangnya. Dengan boomingnya pasar komoditas di dekade lalu, maka CAD dan AUD menguat cukup signifikan terhadap USD. Kini dengan melempemnya commodity market karena resesi di Cina, mata AUD dan CAD terkoreksi.

Bagaimana dengan Indonesia? Dengan sumber daya alam mineral yang ada, sebenarnya bisa saja currency basket untuk devisa mulai berdasarkan komoditas. Hanya saja paradigmanya para ekonom belum bergeser dari fiat money, selain juga bakal ada reaksi dari lembaga-lembaga donor. Langkah awal yang menjadi ujian, bisakah IDR di-peg terhadap USD. Jika sudah bisa, maka langkah selanjutnya adalah menggeser pegging dari USD ke basket of currency. Setelah itu keranjang mata uang ini ditambahkan penilaian atas komoditas yang akan digunakan, seperti emas, timah, nikel. 

Bakal banyak korban, hujatan, protes dan meme tentunya.... :)  Ini suatu jalan alternatif memperkuat IDR, beresiko tinggi tetapi berharga untuk mengurangi ketergantungan terhadap USD.

Sabtu, 19 November 2016

Biofuel: Mempengaruhi harga CPO

Ada prediksi bahwa biofuels akan 'memakan' bagian manusia. Yang paling siap dari skala ekonomi dan teknologi adalah konversi minyak kelapa sawit. Mulai banyak perusahaan CPO / minyak goreng yang mengumumkan akan masuk ke biofuel. Diantaranya Guthrie MY, Astra Agro Lestari dan Indofood. 
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara terbesar negara penghasil CPO. Pengalihan peruntukan CPO dari minyak goreng dan barang konsumsi lain menjadi biofuel ditangkap para trader dan spekulator dunia sebagai faktor pengurangan suplai CPO. Yang terjadi adalah banyak transaksi forward dengan asumsi harga CPO lebih tinggi dan ini memicu kenaikan harga CPO. Naiknya harga CPO dunia membuat perusahaan lokal Indonesia mengalokasi bahan produksi untuk dijual sebagai CPO daripada membuat minyak goreng. Terjadi kelangkaan minyak goreng dan harga minyak goreng menjadi mahal kira-kira 2-3 bulan lalu, apalagi dipacu lebaran.
Pemerintah turun tangan dengan membuat beberapa pembatasan ekspor CPO ditambah operasi pasar. Harga minyak goreng menjadi normal. Walau demikian tidak menutup kemungkinan kelangkaan minyak goreng akan terjadi lagi atau kekurangan ini menjadi permanen. Masyarakat nanti harus memilih: BBM murah, makanan goreng-gorengan menjadi mahal, atau BBM menjadi mahal tetapi nasi goreng tetap murah!